Redefinisi Pajak - Menuju Definisi yang Lebih Substansial dan Realistis

Nurtiyas, S.E., M.Ak

Ketika kita berbicara tentang pajak, seringkali yang muncul adalah wacana tentang kewajiban dan paksaan. Namun, apakah definisi pajak yang ada saat ini sudah cukup mencerminkan realitas hubungan hukum yang sebenarnya antara wajib pajak dan negara? Pertanyaan ini menjadi semakin relevan ketika kita melihat berbagai permasalahan dalam implementasi sistem perpajakan di Indonesia.

Definisi pajak dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa "Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." Sekilas, definisi ini tampak komprehensif dan aspiratif. Namun, jika kita telaah lebih dalam, terdapat beberapa kelemahan fundamental yang perlu dipertimbangkan.

Masalah pertama terletak pada frasa "bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." Meskipun terdengar mulia dan sesuai dengan cita-cita negara, frasa ini mengandung ambiguitas yang berpotensi menimbulkan masalah. Apa parameter objektif untuk mengukur "kemakmuran rakyat"? Bagaimana kita menilai apakah pajak yang dipungut benar-benar telah digunakan untuk kemakmuran tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini sulit dijawab karena kemakmuran adalah konsep yang sangat relatif dan subjektif.

Lebih dari itu, mencantumkan "kemakmuran rakyat" dalam definisi pajak sebenarnya redundan. Mengapa? Karena mensejahterakan rakyat sudah menjadi kewajiban konstitusional negara. Dengan demikian, semua fungsi negara, termasuk pemungutan pajak, secara inheren sudah ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Mencantumkannya kembali dalam definisi pajak justru menciptakan redundansi yang tidak perlu.

Kelemahan kedua ada pada frasa "dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung." Kalimat ini menciptakan persepsi bahwa wajib pajak memberikan sesuatu kepada negara tanpa mendapat sesuatu yang berarti. Persepsi ini kontraproduktif dalam membangun kesadaran kepatuhan membayar pajak. Dalam kenyataannya, wajib pajak mendapat berbagai "imbalan" berupa layanan publik, infrastruktur, perlindungan hukum, dan berbagai fasilitas lainnya yang disediakan negara sekalipun belum pernah berkontribusi membayar pajak. Menekankan kata "tidak mendapat imbalan" justru memperkuat stereotype negatif tentang pajak.

Masalah ketiga adalah penggunaan frasa "bersifat memaksa." Dalam sistem hukum modern, semua kewajiban hukum pada dasarnya bersifat mengikat berdasarkan undang-undang. Menekankan aspek "memaksa" dalam definisi pajak memberikan konotasi negatif yang tidak perlu dan dapat mengurangi legitimasi moral sistem perpajakan.

Melihat berbagai kelemahan tersebut, Nurtiyas yang merupakan seorang praktisi dan akademisi perpajakan, mengusulkan redefinisi pajak yang lebih substansial dan realistis. Menurut Nurtiyas, "Pajak adalah kontribusi wajib berdasarkan undang-undang yang terutang oleh wajib pajak, yang pelaksanaannya diwujudkan dengan kepastian hukum dan keadilan."

Redefinisi ini fokus pada esensi hukum pajak tanpa embel-embel yang tidak operasional. Pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib berdasarkan undang-undang yang terutang oleh wajib pajak. Tiga elemen ini—sifat kontributif, basis legalitas, dan subjek hukum. 

Definisi ini juga menciptakan hubungan timbal balik yang realistis dan dapat dipertanggungjawabkan. Frasa "yang pelaksanaannya diwujudkan dengan kepastian hukum dan keadilan" memberikan perlindungan yang konkret bagi wajib pajak. Kepastian hukum di sini mencakup prediktabilitas peraturan, konsistensi penerapan, transparansi prosedur, dan jaminan hak prosedural. Sementara itu, keadilan mencakup proporsionalitas beban pajak, equality before the law, due process dalam penagihan, dan non-diskriminasi dalam pelayanan.

Yang menarik dari redefinisi ini adalah penggunaan kata "diwujudkan." Kata ini mengimplikasikan bahwa kepastian hukum dan keadilan bukan sekadar tujuan atau janji, tetapi sesuatu yang harus secara aktif direalisasikan dalam setiap proses perpajakan. Ini menciptakan akuntabilitas yang lebih kuat bagi otoritas pajak untuk benar-benar memastikan bahwa setiap aspek perpajakan dilaksanakan dengan kepastian hukum dan keadilan.

Berbeda dengan "kemakmuran rakyat" yang abstrak dan sulit diukur, kepastian hukum dan keadilan dapat dievaluasi melalui berbagai indikator yang objektif. Misalnya, tingkat konsistensi dalam penerapan peraturan, waktu penyelesaian proses administrasi, kualitas pelayanan kepada wajib pajak, dan efektivitas mekanisme pengaduan. Dengan demikian, redefinisi ini tidak hanya memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi wajib pajak, tetapi juga menciptakan parameter yang jelas untuk mengevaluasi kinerja sistem perpajakan.

Bagi wajib pajak, definisi baru ini memberikan fondasi hukum yang lebih kuat untuk menuntut kepastian hukum dalam setiap proses perpajakan dan memperoleh perlakuan yang adil serta non-diskriminatif. Bagi otoritas pajak, redefinisi ini memberikan panduan yang jelas untuk mengembangkan sistem administrasi yang dapat diprediksi dan memastikan konsistensi dalam penerapan peraturan.

Redefinisi pajak yang diusulkan Nurtiyas ini bukan sekadar perubahan semantik, tetapi merupakan pergeseran paradigma mendasar. Dari definisi yang bersifat retoris dan aspiratif, menuju definisi yang lebih honest, realistic, dan actionable. Definisi ini tidak menjanjikan yang tidak dapat dipenuhi, tetapi menjamin yang dapat dituntut secara hukum.

Dalam era di mana kepercayaan terhadap institusi publik menjadi isu yang krusial, redefinisi pajak menjadi langkah penting untuk membangun social contract yang lebih sehat antara negara dan warga negara. Saatnya kita bergerak dari pajak sebagai "kontribusi untuk kemakmuran" yang abstrak menuju pajak sebagai "kontribusi dengan kepastian hukum dan keadilan" yang konkret dan dapat dipertanggungjawabkan.

Disclaimer: Artikel ini disusun untuk tujuan informasi dan edukasi. Pembaca disarankan untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional sebelum mengambil keputusan terkait perpajakan berdasarkan informasi dalam artikel ini

Nurtiyas, S.E., M.Ak

Tax Court Attorney License: 1590/PP/IKH/2023
Certified Tax Administration Practitioner (CTAP)
Certified Senior Tax (CSTax)
Certified Tax Management (CTM)
Certified Financial Report Senior (CFRS)
Certified External Auditor Senior (CEAS)
Certified Tax Auditor Senior (CTAS)
www.nurtiyas.my.id