Problematika SKP/STP yang dihasilkan dari pemeriksaan yang melewati jangka waktu - Part 2
Jangka waktu pemeriksaan pajak memang merupakan bagian integral dari prosedur pemeriksaan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, secara prinsip, pelaksanaan pemeriksaan yang melewati jangka waktu dapat dianggap sebagai pelanggaran prosedur. Dalam konteks hukum administrasi, pelanggaran prosedur dapat menjadi dasar untuk mempermasalahkan keabsahan suatu keputusan. Namun, tidak semua pelanggaran prosedur otomatis mengakibatkan batalnya suatu keputusan. Ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan seperti:
a. Asas proporsionalitas: Sejauh mana pelanggaran prosedur tersebut mempengaruhi substansi keputusan.
b. Asas kepastian hukum: Apakah pelanggaran prosedur tersebut mengakibatkan ketidakpastian hukum yang signifikan.
c. Asas kemanfaatan: Apakah pembatalan keputusan akan lebih bermanfaat atau justru merugikan kepentingan umum.
Dalam beberapa kasus, pengadilan pajak dan Mahkamah Agung telah memberikan pertimbangan terkait pemeriksaan yang melewati jangka waktu. Beberapa putusan cenderung melihat apakah pelanggaran jangka waktu tersebut mempengaruhi substansi hasil pemeriksaan atau merugikan hak-hak Wajib Pajak secara material. Meskipun pemeriksaan yang melewati jangka waktu tidak serta-merta membatalkan SKP/STP, Wajib Pajak tetap memiliki hak untuk mengajukan gugatan dengan menggunakan argumen pelanggaran prosedur ini.
Namun kembali lagi harus ditekankan bahwa suatu pelanggaran tidak dapat dibiarkan saja tanpa ada akibat hukumnya. Apa lagi negara indonesia adalah negara hukum. Sebagimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3). Jangka waktu pemeriksaan diatur jelas dalam PMK yang memiliki kekuatan hukum mengikat secara peraturan perundang-undangan.
Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat."
Pasal 8 ayat (2): “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan."
PMK merupakan aturan pelaksana dari Undang-Undang dan memiliki hierarki dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Oleh karena itu, ketentuan mengenai jangka waktu pemeriksaan yang diatur dalam PMK seharusnya dipatuhi oleh petugas pajak. Selain itu petugas pajak yang akan cenderung terus mengabaikan prosedur jangka waktu pemeriksaan jika tidak ada konsekuensi yang tegas. Ini adalah masalah serius karena dapat melemahkan integritas sistem perpajakan dan mengurangi kepercayaan wajib pajak terhadap proses pemeriksaan. Dan jika pelanggaran prosedur tidak mengakibatkan batalnya produk hukum, maka hal ini juga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Wajib pajak mungkin akan merasa bahwa aturan yang ada tidak memberikan perlindungan yang memadai terhadap hak-hak mereka.
Argumentasi otoritas pajak yang tidak pernah terlewatkan dalam sengketa jangka waktu pemeriksaan yaitu mengacu pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan, III. Materi Kebijakan Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan huruf a angka 11:
a) Jangka waktu pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan meliputi jangka waktu pengujian dan jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan pelaporan sebagaimana diatur dalam PMK-17 dan PMK-256.
b) Khusus untuk pemeriksaan atas pelaksanaan kontrak kerja sama berbentuk kontrak bagi hasil dengan pengembalian biaya operasi di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi, jangka waktu pemeriksaan meliputi jangka waktu pengujian dan jangka waktu pembahasan dan pelaporan sebagaimana diatur dalam PMK-34.
c) Pengaturan jangka waktu pemeriksaan pada huruf a) dan b) digunakan sebagai alat monitoring dan kontrol manajemen sehingga dapat mengukur kinerja pemeriksa pajak dan kegiatan pemeriksaan pajak.
Namun perlu diingat bahwa Surat Edaran bukanlah peraturan perundang-undangan, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, SE tersebut digunakan sebagai petunjuk bagi internal DJP dalam melakukan pemeriksaan pajak, sehingga kebijakan yang ada didalamnya tidak berarti harus diikuti oleh wajib pajak dan menggugurkan ketentuan-ketentuan umum. Jika suatu prosedur pemeriksaan yang diatur dalam UU dan PMK tidak dijalankan sebagaimana mestinya hanya berdampak pada internal internal DJP maka wajib pajak tidak mendapatkan keadilan dalam hukum. Dan justru jika wajib pajak diharuskan menyetujui bahwa jangka waktu pemeriksaan hanya digunakan sebagai alat monitoring dan kontrol manajemen semata tanpa ada dampak hukum lainnya maka SE tersebut tidak harmonis atau bertentangan dengan UU Administrasi Pemerintahan Pasal 52 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan yang menyatakan bahwa syarat sahnya Keputusan meliputi:
a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
b. dibuat sesuai prosedur; dan
c. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.
Dan pasal 66 ayat (1) yang menyatakan bahwa: Keputusan hanya dapat dibatalkan apabila terdapat cacat:
a. wewenang;
b. prosedur; dan/atau
c. substansi.
Apakah DJP diberikan kewenangan untuk membatalkan SKP/STP atas pemeriksaan yang melewati jangka waktu?
Sementara dalam Pasal 36 ayat (1) UU KUP dinyatakan:
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
c. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau
d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.
Pasal 60 PMK 17/PMK.03/2013 jo PMK 18/PMK.03/2021 dinyatakan bahwa DJP karena jabatan atau atas permohonan wajib pajak dapat: membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak
Undang-Undang KUP tidak mengatur secara spesifik kewenangan DJP untuk membatalkan SKP/STP karena pemeriksaan melewati jangka waktu. Namun hanya memuat kewenangan membatalkan hasil pemeriksaan tanpa SPHP dan PAHP atau SKP/STP tidak benar. Maka wajar jika permohonan pembatalan SKP atas sengketa cacat prosedur jangka waktu pemeriksaan berdasarkan ketentuan pasal 36 ayat (1) huruf d UU KUP dan PMK Tentang Tata Cara Pemeriksaan seringkali ditotak oleh DJP.
Namun apakah selesai sampai disitu. Jawabannya tidak. Saya akan menguraikan upaya administratif (jalur mediasi) atau upaya hukum (jalur litigasi) pada sesi berikutnya sekaligus menyimpulkan jawaban rumusan masalah yang telah disampaikan pada part 1.
Lanjut ke part 3 ...