Melakukan Upaya Hukum Karena Cacat Prosedur Pemeriksaan Pajak

Melakukan Upaya Hukum Karena Cacat Prosedur Pemeriksaan Pajak

Cacat prosedur dalam pemeriksaan pajak mungkin saja bisa ditemui langsung oleh wajib pajak saat dilakukan proses pemeriksaan pajak Terlepas karena adanya kesengajaan, khilaf, maupun situasi lain. Sehingga penting bagi pemeriksa dan wajib pajak untuk memperhatikan tata cara pemeriksaan dan standar pemeriksaan agar prosedur pemeriksaan dapat di jalankan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 

Menurut Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang KUP "Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan."

Menurut Pasal 1 angka 25 Undang-Undang KUP "Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan."

Menurut Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang KUP "Tata cara pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]" 

Lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan di atur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 s.t.d.t.d 18/PMK.03/2021 Tentang Tata Cara Pemeriksaan. Serta dalam rangka melaksanakan ketentuaan pasal 92 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013, Direktur Jenderal Pajak menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2013 Tentang Standar Pemeriksaan.

Bagaimana jika pemeriksaan pajak tidak dijalankan sesuai prosedur?

Apa upaya hukum yang dapat dilakukan wajib pajak?

Untuk menjawab pertanyaan diatas, perlu di identifikasi terlebih dahulu apa saja masalah cacat prosedurnya. Apabila dalam pemeriksaan pajak tidak ada SPHP atau PAHP, maka wajib pajak dapat melakukan upaya administrasi kepada Direktur Jenderal Pajak yaitu dengan melakukan permohonan pembatalan hasil pemeriksaan atas Surat Ketetapan Pajak sebagaimana diatur dalam pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP "Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:

a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;

b. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;

c. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau

d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. --[P3]" 

Lebih lanjut terkait hal tersebut dapat dipelajari dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, dan Pengurangan atau Pembatalan SKP atau STP). 

Namun apabila wajib pajak mendapatkan proses pemeriksaan yang cacat prosedur selain karena hal tersebut diatas (pemeriksaan dilakukan tanpa SPHP atau PAHP), maka wajib pajak lebih baik mengajukan gugatan kepada pengadilan pajak. Sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang KUP "Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap: ***)

a. pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;

b. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;

c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau

d. penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak."

Menurut pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan "keputusan hanya dapat dibatalkan apabila terdapat catat:

a. wewenang
b. prosedur dan atau
c. substansi"

Perlu diketahui bahwa ada perbedaan objek gugatan pasal 23 ayat (2) huruf d UU KUP VS pasal 36 ayat (1) huruf d. Objek gugatan dari pintu pasal 23 ayat (2) huruf d adalah Surat Ketetapan Pajak, sementara objek gugatan dari pintu pasal 36 ayat (1) huruf d adalah Surat Keputusan atas permohonan pembatalan SKP.

Apabila wajib pajak mengajukan upaya hukum sesuai pasal 36 ayat (1) KUP ke DJP, maka atas upaya tersebut akan tebit Surat Keputusan, keputusan bisa dikabulkan atau ditolak. Apabila wajib pajak tidak puas dengan hasil Keputusan DJP maka wajib pajak dapat melanjutkan upaya hukum gugatan ke pengadilan pajak atas Surat Keputusan tersebut.