Apakah Sengketa Kepabeanan Dapat Diajukan Gugatan di Pengadilan Pajak?

Apakah Sengketa Kepabeanan Dapat Diajukan Gugatan di Pengadilan Pajak?

Jum'at 26 Januari 2024 Perkumpulan Profesi Pengacara dan Praktisi Pajak Indonesia (P5I) melaksanakan kegiatan webinar ke-25 dengan tema "Upaya Hukum Dapat Diajukan Terhadap Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai kepada Pengadilan Pajak" dengan speaker Dr. Alessandro Rey, SH., MH., Mkn., BSC., MBA. Dalam webinar tersebut Dr. Alessandro Rey mengupas latar belakang dan mengambil pertimbangan hukum Hakim Dr. (c). R. Aryo Atmoko S.IP., ST., SH., MH., MM  dalam perkara PT Yuni Internasional. 

LATAR BELAKANG

Dalam presentasinya Dr. Alessandro Rey menjelaskan latar belakang dalam sengketa a quo, terdapat beberapa permasalahan, diantaranya: 

  1. Gugatan kepabeanan tidak dapat diterima (N.O) oleh pengadilan pajak
  2. Majelis hakim berpendapat bahwa sengketa kepabeanan tidak dapat diajukan gugatan di pengadilan pajak
  3. Majelis hakim berpendapat bahwa sengketa kepabeanan hanya dapat diajukan banding

IDENTIFIKASI MASALAH

Sementara itu beliau melanjutkan indentifikasi masalah dengan tiga pertanyaan: 

  1. Apa dasar hukum majelis hakim berpendapat sengketa kepabeanan tidak dapat diajukan gugatan?
  2. Apakah sengketa kepabeanan dapat diajukan gugatan? Apa dasar hukumnya?
  3. Bagaimana pertimbangan hukum Hakim  Dr. (c). R. Aryo Atmoko S.IP., ST., SH., MH., MM dalam perkara PT Yuni Internasional?

PEMBAHASAN

Dasar hukum majelis hakim berpendapat sengketa kepabeanan tidak dapat diajukan gugatan adalah Pasal 95 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan. Pasal tersebut telah menetapkan upaya hukum lebih lanjut yang dapat ditempuh pihak yang berkeberatan terhadap keputusan atas pelaksanaan Pasal 17 ayat (1) UU Kepabeanan yaitu banding ke pengadilan pajak, tanpa membatasi materi yang diajukan banding, baik banding mengenai keberatan formal penerbitannya ataupun karena keberatan mengenai materi keputusannya.

Majelis Hakim berpendapat bahwa gugatan oleh penggugat tidak memenuhi ketentuan Pasal 31 ayat (3) UU Pengadilan Pajak. Pasal 31 ayat (3) dimaknai bahwa yang dapat diajukan gugatan ke pengadilan pajak adalah:

  1. Pelaksanaan penagihan pajak
  2. Keputusan pembetulan
  3. Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
  4. Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku

Karena kepabeanan merupakan lex specialis, maka perkara a quo harus diputus berdasarkan UU Kepabeanan dan bukan menggunakan UU Perpajakan (KUP).

Lantas jika demikian apakah benar sengketa kepabeanan tidak dapat diajukan gugatan? Mari kita simak penjelasan berikut ini.

Indonesia merupakan negara hukum. Dalam the rules of law harus memuat supermacy of law, equality before the law, dan due process of law. Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) menyebutkan "keputusan hanya dapat dibatalkan apabila terdapat catat:

  • wewenang
  • prosedur dan atau
  • substansi"

Dalam perkara PT Yuni Internasional, penggugat menggugat diantaranya terkait masalah formal penerbitan SPKTNP. Dengan demikian dalam penerbitan suatu keputusan, tergugat dilarang menerbitkan SPKTNP yang mengandung cacat wewenang, prosedur, dan atau substansi

Menurut A.V. Dicey: "Indonesia sebagai negara hukum, harus menerapkan asas "due process of law" yang dapat dimaknai bahwa setiap tindakan hukum atau penerbitan keputusan harus sesuai dengan prosedur / hukum acara yang berlaku"

Pada pasal 95 UU Kepabeanan mengatur mengenai keberatan atas keputusan SKPTNP yaitu permohonan banding, namun permohonan banding tersebut hanya berkaitan dengan materi penetapan kembali tarif dan nilai pabean, tetapi tidak masuk mengatur mengenai formal penerbitan SPKTNP terutama adanya cacat prosedur/pelanggaran hukum acara penerbitan SPKTNP. 

Bunyi pasal 95 UU Kepabeanan: "Orang yang berkeberatan terhadap penetapan Direktur Jenderal atas tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2), Pasal 93A ayat (4), atau Pasal 94 ayat (2) dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan atau tanggal keputusan, setelah pungutan yang terutang dilunasi."

Ada yang menarik dari pendapat salah satu hakim, menurut hakim Dr. (c). R. Aryo Atmoko S.IP., ST., SH., MH., MM, dalam the rules of law harus memuat supermacy of law, equality before the law, dan due process of law. Dengan adanya Pasal 66 ayat (1) UU AP "keputusan hanya dapat dibatalkan apabila terdapat catat: wewenang, prosedur dan atau substansi" dalam penerbitan suatu keputusan maka pejabat bea dan cukai dalam hal ini tidak boleh terdapat cacat kewenangan. UU kepabeanan tidak mengatur pengajuan gugatan/banding akibat cacat prosedur dalam penerbitan keputusan dan hanya mengatur pengajuan banding atas pasal 17 ayat (2) tentang materi keputusan serta Keputusan Direktur Jenderal sebagaimana di maksud dalam pasal 93 ayat (2), pasal 93A ayat (4), atau pasal 94 ayat (2) tentang jangka waktu.

Maka dengan demikian seharusnya berlaku asas Generalia Sunt Praeponenda Singularibus (General thing are to procede particular things, general law are to procede particular laws). Artinya bahwa peraturan yang bersifat umum dapat diterapkan pada peraturan yang bersifat khusus apabila di peraturan yang bersifat khusus tidak mengaturnya.

Dalam pasal 1 angka 2 undang-undang pengadilan pajak disebutkan "Pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat termasuk bea masuk dan cukai, dan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, berdasarkan peraturan perundang-undanngan yang berlaku."  maka dengan demikian (perkara cacat prosedur kepabeanan) dapat digunakan UU perpajakan dalam hal ini yakni UU KUP. Sesuai dengan pertimbangan tersebut menurut hakim R. Aryo Hatmoko dalam usaha memperoleh keadilan, maka importir dapat menggunakan upaya hukum pengadilan untuk membuktikan bahwa keputusan yang diterbitkan merupakan keputusan yang cacat prosedur.

Sebagaimana diatur dalam pasal 23 ayat (2) huruf d UU KUP "Gugatan wajib pajak atau penanggung pajak terhadap: d. penerbitan surat ketetapan pajak atau surat keputusan keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat diajukan kepada badan pengadilan pajak."

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa kepabeanan termasuk bagian dari perpajakan sesuai pasal 1 angka 2 UU Pengadilan Pajak. Oleh karenanya dalam UU Kepabeanan tidak mengatur mengenai upaya hukum terkait penerbitan SPKTNP yang cacat prosedur, maka berlaku asas peraturan umum tetap berlaku jika peraturan khusus tidak mengaturnya. Dengan demikian, penerbitan SPKTNP yang cacat prosedur tersebut dapat diajukan gugatan dipengadilan pajak sesuai dengan pasal 23 ayat (2) huruf d UU KUP.

 

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Kepabeanan
  • Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
  • Undang-Undang Administrasi Pemerintahan
  • Pendapat para ahli