DPR Akhirnya Tunduk pada Putusan MK: Akhir Kontroversi UU Pilkada
Setelah menuai kecaman dan memicu demonstrasi di berbagai daerah, DPR akhirnya memutuskan untuk mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait revisi UU Pilkada. Keputusan ini mengakhiri polemik yang sempat mengancam stabilitas konstitusional negara.
Kontroversi bermula ketika MK pada 20 Agustus 2024 mengeluarkan putusan yang merevisi beberapa ketentuan krusial dalam UU Pilkada. Putusan ini berbeda dengan UU 10/2016 tentang Pilkada dan rencana perubahan yang dibahas dalam Rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR & DPD pada 21 Agustus 2024.
Perbedaan mencolok terlihat dalam syarat pencalonan kepala daerah:
1. Usia minimal: Semua versi menetapkan 30 tahun, namun MK dan UU menentukannya saat pencalonan, sementara DPR merencanakan saat pelantikan.
2. Dukungan partai:
- UU lama: Minimal 20% kursi DPRD atau 25% suara sah pemilu.
- Putusan MK: Bervariasi 6,5% - 10% suara sah pemilu, tergantung jumlah pemilih.
- Rencana DPR: Kembali ke minimal 20% kursi DPRD atau 25% suara sah.
3. Ketentuan khusus: MK memutuskan syarat dukungan partai hanya berlaku bagi parpol tanpa kursi DPRD.
Pakar hukum Titi Anggraini memperingatkan bahwa perbedaan dengan putusan MK akan mengakibatkan kekacauan Pilkada 2024. Sementara Bivitri Susanti mengingatkan agar tidak ada tafsir berbeda untuk putusan MK yang dinilai progresif.
Keputusan DPR untuk akhirnya mengikuti putusan MK dianggap sebagai langkah bijak yang menghormati konstitusi, khususnya UUD 1945 Pasal 24C yang menegaskan sifat final putusan MK. Langkah ini diharapkan dapat menjamin kepastian hukum dan memulihkan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi di tingkat lokal.
Masyarakat kini menantikan implementasi aturan baru ini dalam Pilkada mendatang, dengan harapan dapat menghasilkan pemimpin daerah yang lebih berkualitas dan representatif."