Di Balik Angka 4,8 Miliar: Memahami Batas Kritis Kewajiban PPN

Di Balik Angka 4,8 Miliar: Memahami Batas Kritis Kewajiban PPN

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan instrumen fiskal yang signifikan dalam struktur pendapatan negara Indonesia. Meskipun demikian, regulasi perpajakan nasional menerapkan pendekatan yang proporsional dengan mempertimbangkan skala usaha para pengusaha. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai secara eksplisit mengatur pembebasan kewajiban pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN bagi kategori pengusaha kecil.

Untuk mengimplementasikan ketentuan ini secara efektif, Kementerian Keuangan telah menerbitkan serangkaian peraturan yang menetapkan kriteria spesifik pengusaha kecil dalam konteks PPN. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2010, yang kemudian diperbarui melalui PMK Nomor 197/PMK.03/2013, memberikan definisi dan batasan yang jelas mengenai kategori pengusaha kecil. Regulasi ini tidak hanya berfungsi sebagai panduan operasional bagi otoritas pajak, tetapi juga memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha dalam menentukan status kewajiban perpajakan mereka terkait PPN.

Menurut peraturan tersebut, pengusaha kecil didefinisikan sebagai pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp4,8 miliar. Jika peredaran bruto melebihi batas ini, pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) paling lambat akhir bulan berikutnya.

Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua peredaran bruto usaha harus diperhitungkan dalam penentuan batas pengusaha kecil. Hanya penyerahan BKP dan/atau JKP yang diperhitungkan. Beberapa jenis jasa, seperti jasa keagamaan, tidak dikenai PPN sesuai dengan Pasal 4A ayat (3) huruf f Undang-Undang PPN.

PMK Nomor 92/PMK.03/2020 merinci lebih lanjut tentang jasa keagamaan yang tidak dikenai PPN. Salah satu jenis jasa yang termasuk dalam kategori ini adalah jasa penyelenggaraan perjalanan ibadah keagamaan oleh biro perjalanan wisata, khususnya Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dan/atau Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah ke Kota Makkah dan Kota Madinah.

Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

1. Jasa ini harus dilakukan oleh biro perjalanan wisata yang memiliki izin resmi dari Kementerian Agama.
2. Penyerahan jasa tidak boleh didasarkan pada pemberian komisi atau imbalan atas penyerahan jasa perantara penjualan.
3. Jika biro perjalanan juga menyelenggarakan perjalanan ke tempat lain selain Makkah dan Madinah, bagian jasa untuk perjalanan ke tempat lain tersebut tetap dikenai PPN.

PMK Nomor 71/PMK.03/2022 mengatur lebih lanjut tentang PPN atas penyerahan jasa kena pajak tertentu, termasuk jasa penyelenggaraan perjalanan ibadah keagamaan yang juga menyelenggarakan perjalanan ke tempat lain. Dalam kasus ini, besaran PPN yang harus dipungut bervariasi tergantung pada cara penagihan:

1. Jika tagihan dirinci antara paket ibadah dan paket perjalanan lain, PPN dikenakan sebesar 10% dari tarif PPN dikalikan dengan harga jual paket perjalanan ke tempat lain.
2. Jika tagihan tidak dirinci, PPN dikenakan sebesar 5% dari tarif PPN dikalikan dengan harga jual keseluruhan paket.

Studi Kasus:

PT Berkah Travel adalah sebuah biro perjalanan wisata yang memiliki izin resmi untuk menyelenggarakan perjalanan ibadah umrah. Pada tahun 2023, peredaran bruto PT Berkah Travel adalah sebagai berikut:

1. Paket Umrah reguler (Makkah-Madinah): Rp3,5 miliar
2. Paket Umrah plus Turki (Tagihan tidak dirinci): Rp2 miliar

Total peredaran bruto PT Berkah Travel adalah Rp5,5 miliar, melebihi batas Rp4,8 miliar. Namun, tidak semua peredaran bruto ini diperhitungkan untuk penentuan status PKP:

1. Paket Umrah reguler (Rp3,5 miliar) tidak dikenai PPN.
2. Untuk Paket Umrah plus Turki yang dijadikan dasar perhitungan JKP.

Jadi, peredaran bruto yang diperhitungkan untuk penentuan status PKP hanya Rp2 miliar, masih di bawah batas Rp4,8 miliar. Oleh karena itu, PT Berkah Travel masih tergolong pengusaha kecil dan belum wajib dikukuhkan sebagai PKP.

Kasus ini menunjukkan pentingnya pemahaman yang mendalam tentang peraturan perpajakan, khususnya dalam usaha jasa travel umroh, untuk memastikan kepatuhan pajak yang tepat. Hubungi kami untuk konsultasi perpajakan maupun sengketa perpajakan.