Apakah Benar Fasilitas PPh Final Berdasarkan PP 55 Tahun 2022 Itu untuk UMKM?

Nurtiyas, S.E., M.Ak., BKP

Dalam berbagai materi edukasi dan sosialisasi terkait fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) final berdasarkan PP 55 Tahun 2022, pemerintah dan otoritas pajak seringkali menggunakan terminologi "UMKM" untuk menggambarkan sasaran penerima fasilitas ini. Namun, apakah penggunaan istilah tersebut sudah tepat jika ditelaah secara mendasar sesuai regulasi yang berlaku?

Dalam tulisan ini saya akan menganalisis kesesuaian penggunaan istilah "UMKM" dalam konteks fasilitas PPh final PP 55/2022 dengan merujuk pada ketentuan kriteria UMKM yang diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 jo. PP No. 7 Tahun 2021.

Ketentuan Fasilitas PPh Final dalam PP 55 Tahun 2022

PP 55 Tahun 2022 memberikan fasilitas PPh final dengan tarif 0,5% kepada Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu. Salah satu syarat utama untuk dapat memanfaatkan fasilitas ini adalah Wajib Pajak harus memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak.

Ketentuan ini berlaku baik untuk Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan yang menjalankan kegiatan usaha. Fasilitas ini diberikan sebagai bentuk kemudahan bagi pelaku usaha dengan skala tertentu untuk menjalankan kewajiban perpajakannya dengan tarif yang lebih rendah dan mekanisme yang lebih sederhana.

Kriteria UMKM Menurut Peraturan yang Berlaku

Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2008

Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah mengkategorikan usaha berdasarkan kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan dengan kriteria sebagai berikut:

Usaha Mikro:

  • Kekayaan bersih maksimal Rp50 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha)
  • Hasil penjualan tahunan maksimal Rp300 juta

Usaha Kecil:

  • Kekayaan bersih lebih dari Rp50 juta sampai maksimal Rp500 juta
  • Hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300 juta sampai maksimal Rp2,5 miliar

Usaha Menengah:

  • Kekayaan bersih lebih dari Rp500 juta sampai maksimal Rp10 miliar
  • Hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2,5 miliar sampai maksimal Rp50 miliar

Berdasarkan PP No. 7 Tahun 2021

PP No. 7 Tahun 2021 telah merevisi kriteria UMKM dengan peningkatan nilai nominal yang cukup besar. Dalam Pasal 35, PP ini mengatur kriteria berdasarkan hasil penjualan tahunan untuk UMKM yang telah berdiri sebelum PP ini berlaku:

Usaha Mikro:

  • Hasil penjualan tahunan sampai maksimal Rp2 miliar

Usaha Kecil:

  • Hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2 miliar sampai maksimal Rp15 miliar

Usaha Menengah:

  • Hasil penjualan tahunan lebih dari Rp15 miliar sampai maksimal Rp50 miliar

Berdasarkan perbandingan antara kriteria penerima fasilitas PPh final PP 55/2022 dengan kriteria UMKM dalam regulasi yang berlaku (PP No. 7 Tahun 2021), terdapat ketidaksesuaian yang fundamental. Batasan omset Rp4,8 miliar yang ditetapkan dalam PP 55/2022 ternyata secara mutlak tidak dapat dinikmati oleh kriteria usaha menengah.

Implikasi Penggunaan Terminologi yang Kurang Tepat

Penggunaan istilah "UMKM" secara menyeluruh untuk menggambarkan penerima fasilitas PPh final PP 55/2022 dapat menimbulkan beberapa implikasi:

Pertama, dari sisi persepsi publik, hal ini dapat menciptakan kesan bahwa seluruh spektrum UMKM mendapat perlakuan yang sama, padahal kenyataannya fasilitas ini hanya berlaku untuk usaha mikro dan kecil.

Kedua, dari sisi kejelasan hukum, penggunaan terminologi yang tidak konsisten dengan definisi legal dapat menimbulkan kebingungan dalam interpretasi dan penerapan peraturan.

Ketiga, dari sisi keadilan distribusi insentif, penggunaan istilah yang terlalu luas dapat mengaburkan fokus kebijakan apakah memang ditujukan untuk semua kategori UMKM atau hanya untuk kriteria tertentu saja.

Usulan Penggunaan Terminologi yang Lebih Tepat

Berdasarkan analisis di atas, akan lebih tepat jika pemerintah menggunakan terminologi "UMK" (Usaha Mikro Kecil) dalam konteks fasilitas PPh final PP 55/2022. Terminologi ini akan lebih akurat mencerminkan sasaran sebenarnya dari kebijakan tersebut.

Penggunaan terminologi yang tepat bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga mencerminkan konsistensi dalam penerapan sistem hukum. Ketika pemerintah menggunakan istilah yang sudah memiliki definisi legal yang jelas, maka penggunaannya harus konsisten dengan definisi tersebut.

Untuk menghindari kerancuan terminologi di masa mendatang, pemerintah perlu melakukan harmonisasi penggunaan istilah dalam berbagai regulasi dan komunikasi publik. Hal ini dapat dilakukan melalui beberapa langkah konkret.

Pertama, melakukan review terhadap seluruh materi komunikasi dan edukasi terkait fasilitas PPh final untuk memastikan konsistensi terminologi.

Kedua, memberikan pelatihan kepada petugas dan pejabat terkait mengenai penggunaan terminologi yang tepat dalam konteks perpajakan dan UMKM.

Ketiga, dalam penyusunan regulasi baru, perlu dipastikan bahwa setiap penggunaan terminologi telah selaras dengan definisi legal yang berlaku.

Keempat, membuat panduan terminologi resmi yang dapat dirujuk oleh seluruh instansi terkait untuk memastikan konsistensi komunikasi publik.

Nurtiyas, S.E., M.Ak., BKP

Licensed Tax Consultant
Licensed Tax Court Attorney
Certified Tax Administration Practitioner
Certified Senior Tax
Certified Tax Management
Certified Financial Report Senior
Certified External Auditor Senior
Certified Tax Auditor Senior